Dalam benak/pikiran manusia terdapat sejumlah gagasan-gagasan baik
yang bersifat tunggal (seperti gagasan kita tentang tuhan, dewa,
malaikat, surga, neraka, kuda, batu, putih, gunung dan lain-lain) maupun
majemuk (seperti gagasan kita tentang tuhan pengasih, dewa perusak,
malaikat pembawa wahyu, kuda putih, gunung batu dan lain-lain). Bentuk
pengetahuan-pengetahuan ini disebut pengetahuan tasawwur (konsepsi).
Seluruh bentuk-bentuk proposisi keyakinan atau kepercayaan apapun pada
awalnya hanyalah merupakan bentuk konsepsi sederhana ini. Mengapa bisa
demikian? Hal ini karena adalah mustahil seseorang dapat meyakini atau
menpercayai sesuatu jika sesuatu itu pada awalnya bukan merupakan sebuah
konsepsi baginya.
Tetapi pengetahuan tasawwur (konsepsi) sebagaimana telah diketahui
hanyalah merupakan gagasan-gagasan sederhana yang di dalamnya belum ada
penilaian maka itu ia dapat saja benar atau salah. Oleh karenanya
seseorang tidak diperkenankan untuk merasa puas hanya dengan pengetahuan
konsepsi tetapi ia harus melangkah untuk mendapatkan pengetahuan yang
bersifat yakin yaitu pengetahuan-pengetahuan tasdhiqi. Dalam artian
bahwa ia harus melakukan suatu proses penilaian terhadap setiap
gagasan-gagasan (baik tunggal maupun majemuk) atau konsepsinya itu agar
dapat diyakini. Lantas, pertanyaannya adalah apa landasan pokok
penilaian kita di dalam menilai seluruh gagasan-gagasan kita yang mana
kebenarannya mestilah bersifat mutlak dan pasti?
Dalam kancah perdebatan filosofis ketika para pemikir mencoba
menjawab hal pokok ini terbentuklah tiga mazhab berdasarkan doktrinnya
masing-masing. Ketiga mazhab itu adalah pertama, mazhab ‘metafisika
Islam’ dengan doktrin aqliahnya, kedua, mazhab emperisme dengan doktrin
emperikalnya dan ketiga, mazhab skriptualisme dengan doktrin
tekstualnya. Metafisika Islam dalam hal ini menjadikan prima principia
dan kausalitas serta metode deduktif sebagai kerangka berfikirnya.
Adapun mazhab emperisme menjadikan pengalaman inderawi atau eksperimen
sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu dimana induktif sebagai
kerangka berfikirnya. Sementara mazhab skriptualisme menjadikan
teks-teks kitab suci sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu serta
tekstual dalam kerangka berfikirnya. Mazhab kedua (empirisme) menolak
seluruh bentuk landasan dan kerangka berfikir kedua mazhab yang lain.
Begitu pula bagi mazhab ketiga(skriptualisme), mereka skeptis terhadap
landasan dan kerangka berfikir kedua mazhab yang lain. Adapun bagi
mazhab pertama (metafisika Islam), mereka tidak menolak
Sumbangsih-informasi dari teks-teks kitab suci dan pengalaman
inderawi atau eksperimen yang dijadikan landasan berfikir bagi kedua
mazhab yang lain tetapi yang ditolaknya adalah bila keduanya (pengalaman
dan teks-teks kitab) itu merupakan landasan atau kriteria dasar dalam
setiap penilaian hal-hal ilmiah filosofis maupun teologis.
Bagi mazhab pertama (‘metafisika Islam’) pengalaman inderawi atau
data eksperimen merupakan informasi-informasi yang sangat perlu dalam
upaya kita mengetahui aspek sekunder dari alam materi. Atau dengan kata
lain data eksperimen atau pengalaman inderwi sangatlah dibutuhkan bila
obyek pembahasan kita adalah khusus mengenai hal-hal yang sebagian
bersifat ilmiah dan sebagian lagi bersifat filosofis. Adapun teks-teks
kitab suci sangatlah dibutuhkan dalam upaya kita mengetahuai aspek
sekunder dari keadaan-keadaan (kondisi objektif) seperti alam gaib,
akhirat, kehendak-kehendak suci tuhan atau dengan kata lain jika obyek
pembahasan kita berkenaan dengan sebagian dari obyek filosofis
(metafisika dan teologi) yang dalam hal ini pengalaman inderawi atau
eksperimen tak dibutuhkan sama sekali. Karena itu dalam kerangka
berfikir Islam, kedua data di atas (data pengalaman inderawi atau
eksperimen dan teks-teks kitab suci) merupakan premis-premis minor dalam
sistematika deduktif.
Pada akhirnya tak dapat diingkari bahwa dari mazhab metafisika Islam
yang berlandaskan prima principia dan hukum objektif kausalitas serta
kerangka deduktifnya merupakan satu-satunya landasan berfikir di dalam
menilai segala sesuatu. Tanpa pengetahuan dasar tersebut mustahil ada
pengetahuan tasawwur (konsepsi) maupun tasdhiq (assent) apapun. Tak
dapat dibayangkan apa yang terjadi bila doktrin dari metafisika Islam
ini bukan merupakan watak wujud (realitas objektif) yang mengatur segala
sesuatu termasuk pikiran? Maka kebenaran dapat menjadi sama dengan
kesalahannya, bahwa setiap peristiwa dapat terjadi tanpa ada sebabnya.
Bila demikian adanya maka tentu meniscayakan mustahilnya penilaian.
Mengapa demikian? Karena watak penilaian adalah ingin diketahuinya
“sesuatu itu (konsepsi) apakah ia benar atau salah”
atau ingin diketahuinya “mengapa dan kenapa sesuatu itu dapat
terjadi”. Artinya, jika pengetahuan dasar tersebut bukan merupakan watak
dan hukum realitas yang mengatur segala sesuatu termasuk pikiran maka
seluruh bangunan pengetahuan manusia baik di bidang ilmiah, filosofis
dan teologi menjadi runtuh dan tak bermakna.